pict from google pict
Sabtu
20 desember lalu seharusnya hari dimana pembagian raport untuk anak sekolah. Pasti banyak siswa dan wali siswa bertanya - tanya, sudah liburan kenapa raport belum dibagikan?, dan ternyata jawabanya karena ada sebagian sekolah mungkin tidak hanya sebagian tetapi mungkin banyak sekolah yang terpaksa untuk menunda membagikan raport para
siswanya dikarenakan banyak guru yang kesulitan untuk mengisi ranah penilaian kognitif,
afektif dan psikomotor atau keterampilan. Dan itu butuh waktu agak lama, sebab
harus dilaksanakan secara detail dan nilai-nilai angka yang dijabarkan menjadi
nilai huruf. Termasuk di sekolah Ibu saya yang memberikan kebijakan untuk membagikan
raport nanti ketika siswa telah usai liburan di karenakan banyak guru-guru yang
kesulitan untuk mengisi raport, dan banyak guru-guru senior yang tidak pandai
mengoprasikan laptop atau komputer sehingga tidak bisa mengoprasikan aplikasi
untuk mengisi raport tersebut.
Dulu ketika saya sekolah SD sampai SMA sistem penilaian
berlangsung tiap semester. Perbedaan yang mencolok antara dulu dan sekarang
yaitu dalam masalah rangking. Pembagian raport, saat yang mendebarkan. Ketika
diumumkan siapa yang meraih peringkat 1, 2, dan 3 dipanggil ke depan kelas
untuk diberikan hadiah. Walaupun hadiahnya
hanya buku tulis dan alat tulis, tapi rasanya sudah senang sekali. Ada rasa
bangga, ada pengakuan, ada pujian dan ada tepuk tangan dari teman –teman, guru
dan orang tua.
Tapi sekarang, kebijakan di kurikulum 2013 yang menghapuskan
sistem penilaian rangking membuat pembagian raport tak aga gregetnya lagi, yang
biasanya deg...deg an dapat rangking berapa. Salah satu alasannya adalah anak tidak
mungkin menguasai dan pandai pada setiap bidang. Jadi dalam sistem rangking,
seolah-olah yang rangking 1 menguasai dan terpandai pada semua bidang pelajaran. Kalau pada raport
2013 alasanya kenapa tidak menggunakan sistem rangking karena konsep rapor akan
diisi dengan narasi positif. Narasi tersebut akan menggambarkan kemampuan dan
penguasaan anak dalam bidang apa saja. Narasi positif itu diharapkan dapat
memunculkan rasa percaya diri peserta didik. Anak yang menonjol di bagian mana
atau di bidang apa, itu yang kita munculkan. Kita akan memberikan sugesti
kepada anak. Menurut Ramon, ada tiga hal
pokok yang menjadi poin penilaian siswa. Ketiga hal itu adalah sikap,
pengetahuan, dan keterampilan. Selain membangkitkan rasa percaya diri, dengan
rapor model itu diharapkan anak juga tidak terbebani. Artinya, mereka tidak
terbebani secara psikologis. Kita ikuti saja bagaimana peraturan yang dibuat pemerintah semoga
pendidikan di Indonesia kita ini menjadi semakin lebih baik lagi :)
0 komentar:
Posting Komentar